Ketika
hari mulai senja, aku duduk termangu menatap sebuah patung yang terabaikan.
Pohon besar disampingnya tidak cukup untuk melindunginya dari terik dan hujan.
Sungguh aneh, ekspresi patung itu tetap sama. Wajahnya menunjukan ketenangan.
Aku terus mengamatinya hingga segelas teh hangat yang kupesan mulai menjadi dingin. Perhatianku tertuju pada wajahnya yang tenang. Aku berfikir, “apakah wajah itu mengekspresikan apa yang dirasakanya?” Sepertinya tidak. Patung itu menyembunyikan apa yang dirasakanya.
“Lalu dimana disembunyikanya?”.
Entah kenapa benda itu benar-benar mengusik pikiranku. Aku merenung sejenak dan
muncul sebuah jawaban di pikiranku. “Topeng!”. Ya, patung itu bertopeng. Apapun
yang dirasakan patung itu tidak akan terlihat karena patung ittu menggunakan
sebuah topeng. Patung itu tetap pada ekspresi yang sama, yaitu ekspresi yang
digambarkan topeng itu. Dia akan tetap terlihat tenang selama topeng yang sama
masih dikenakanya. Mungkin dia akan terlihat bahagia bila dipasangi topeng yang
tersenyum.
“Jadi
orang lain tidak akan pernah tau apa yang kau rasakan bila kau menggunakan
topeng untuk menutupinya”.
Patung itu mengajarkanku suatu hal. Tentang bagaimana manusia bisa
membohongi orang lain dengan topeng
ekspresi yang mereka miliki. Pastinya manusia memiliki lebih banyak topeng yang
bisa menutupi perasaanya yang sebenarnya. Orang bisa saja terlihat bahagia
walau sebenarnya sedih, hanya dengan menggunakan topeng senyuman. Atau bahkan
iblis bisa saja menggunakan topeng malaikat agar terlihat ramah dan dipercaya?
Menakutkan!.
Entah kenapa aku jadi teringat ibuku.
Sepertinya ibu juga biasa menggunakan topeng. Aku selalu melihat wajahnya yang
penuh kehangatan. Apakah ibu hanya punya topeng itu? atau memang ibu sengaja
hanya menggunakan topeng itu saat aku menatapnya? Atau itu ekspresi sebenarnya
yang ada dalam hatinya? Sepertinya bukan. Aku tahu ibu seringkali lelah,
seringkali kesakitan, seringkali kelaparan, dan bahkan seringkali beliau juga
bersedih. Namun topeng penuh kehangatan selalu dipakainya untuk membuatku
nyaman. Mungkin aku harus belajar banyak darinya untuk bisa juga menggunakan
topeng itu, agar orang-orang merasa nyaman bersamaku.
Saat aku marah, sebenarnya aku ingin sekali mengenakan topeng
senyuman. Namun selalu saja topeng itu terbakar dengan api amarah dan ekspresi
kemarahan tetap saja muncul membuat orang-orang disekitarku tidak nyaman.
Lamunanku buyar, aku kembali kembali ke dunia nyata dan kembali
menatap wajah patung itu. “Apa yang kita lihat pada sesorang tidak selalu
menujukan dirinya yang sebenarnya. Karena manusia suka menggunaka topeng
kehidupan.”
0 komentar:
Posting Komentar